09 January, 2008

PeCundaNg !

Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.

Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.

Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.

Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.

Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.

Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.

Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.

Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.

"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.

"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.

Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.

Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya.

"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."

Perempuan itu diam dan menatapku lembut.

"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."

Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.

"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"

"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"

"Aku akan ngomong sama bosmu."

"Mustahil, Mas!"

"Mengapa mustahil?"

"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."

"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."

Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.

Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.

"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.

Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.

"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.

"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."

"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."

Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan.

"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"

"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"

Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.

"Maksud Mas gimana?"

"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."

"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"

Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?

"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.

Si gembrot tersenyum sinis.

"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."

"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.

"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."

Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.

Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.

Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.***


25 December, 2007

Demi Rasa yang masih Terasa

"Rat, Ratna tunggu,...tunggu" teriak ku pada Ratna yang masih terisak tangis yang berlau pergi begitu saja
-----------
Hari masih pagi tapi Ratna sudah ada disini, padahal dari Kota sukabumi ke cianjur makan waktu paling cepat satu jam. aku heran jam setengah tujuh udah ada dicianjur jam berapa "berangkatnya" aku belum sempet nanya dia langsungi cabut aj. ada apa? gumamku dalam hati sembari terus berlari mengejar banyangan ratna yang mulai menjauh.
-----------

"Rat tunggu". kembali teiraku memecahkan pagi, mengejar ratna yang lari menuju Terminal itu

"Akhirnya !"Kamu mau pergi kemana Rat ?. tanyaku pada Ratna yang memang mantan pacarku dengan alasan tidak jelas dia mutusin aku begitu saja.

"Udah lah jangan peduliin gw mo ke kemana itu keterserah gw lah, suka-suka gw lah. apa peduli loe" lagian kenapa sih loe masih ngejar2 gw, masih peduliin gw, kan gw dah bikin loe sakit hati. jawabnya disela isak tangis yang masih tersisa

Ya' itu memang suka-suka kamu Rat' ?. " pagi-pagi gini udah keluar ijin dulu kg ama Umi ? aku bertanya dengan nada mengeas dengan maksud dia ka gak jd pergi. meski memang hati ku masih terasa perih" cuman aku heran ko knp pagi-pagi gini Ratna udah keluar rumah padahal kan dia lumanyan agak dikekang ma Ibunya' bisik ku dlm hati

"ya dech terserah km mo ngomong apa, yang jelas gue mo ke tasik atau kemana ke.! gw dah ngomong ma ortu." "tapi mereka ngijinin kg" jawabku mulai kesal pula.

"ya iya lah, kalau kg di izinin mana mungkin gw keluar n dari mn gw dapet duit", he...he..... senyumnya mencoba akhiri isak tangisannya...

"he... tapi bener kan izin. tumben si Umi ngasih izin keluar diwaktu gini ?". candaku.

"Bener sumpe dech". jwbnya di iringi senyum mungil yang memang manis membuat hatiku kembali tertunduk padanya.
"Ya dech D percaya" canda ku dengan nama sebutan yang sering ia lontarkan terhadapku dulu.

"Ha...ha...." tertawanya yang polos kembali dia pancarkan.... "coba pinjem HPnya," dia langsung menjabret Hp dari tangan ku.... entah apa yang dia klak-klik aku tak tahu pasti...
---------

Tak lama kemudian bus jurusan tasik pun tiba, tapi aku masih belum yakin kalau ratna iZin sama Umi, aku pun khawatir sama dia takutnya terjadi sesuatu dijalan yg aku kg inginin, dia hanya seorang perempuan manis yang tak tahu bahanyanya diperjalanan, walau hatiku di iris tipis ama dia, tapi jujur aj kalu aku masih sayang sama dia, aku masih peduli ama dia.

---------------

"Ni hp udah ko"dengan agak terburu-buru dia memberikan Hp ku yang dipinjamnya tadi, seketika aku langsung genggam tangannya dengan erat dan mencoba menahan kepergianya yang tak jelas itu.. dia meronta namun genggaman tangan ku terlalu kuat untuk dia lerai,

"Le..pa....s ih,! apa-apan sih kamu entar busnya keburu jalan lagi" i....h, 'lepas'! teriak Ranta mencoba terus meronta.

"Tu....h kan busnya keburu jalan lagi, a.....h apa-apan siha De', "ngapain peduliin gw terserah gue lah mo berangkat kmn juga". dengan nada marah dia membentak ku'

"Bukan apa-apa na' tapi aku belum yakin kamu izin sama Umi, aku juga khawatir takut terjadi sesuatu sama kamu, aku tidak tega liat kamu dengan keadaan seperti ini, tujuan kagak jelas mo pergi kemana.
"Ya dech.. aku mo pergi ketasik mo ngikut,?" kg liat Rat barusan Busnya jurusan mana" candanya sembari mencubit bibir tipisnya yang mungil,
"Bener nih mo pergi ketasik". "eeh ya udah dibilangin kg percaya", mo ngikut kg? kembali tegasnya menyakinkan,
"Ketasik kesapa Rat?" tanyaku bimbang
"Mo kerumah temen kita dulu masih ingat kg?" "..oooh yaw udah klo emang bener-bener nekat. sorry kali ini aku kg bisa ngantar"


--------


Bus kedua pun tiba tapi aku masih menaruh curiga, kuliat sorot matanya tidak begitu menyakinkan kalau keadaanya baik-naik saja, aku malah tambah hawatir dengan keadaanya, aku tahu perjalanan dari cianjur ketasik lumanyan jauh, keadaan diperjalanan musim libur gini kurang aman, sekali lagi lagi dia hanya seorang perempuan lemah yang tidak tahu keadaan diluar sana."


---------

ku tahan kembali nitanya untuk pergi ke tasik.. aku sempat bertengkar lagi sama Rat na. kembali kurangkul erat tangannya , ku tahan dengan sekuat tenaga. rontakanya membuat semua orang yang ada diterminal melihat kami bergulat, tapi aku tak pedulikan mereka, ku perjuangkan tangan ini untuk terus menggenggam kuat tangan

Ratna, hingga pada saat aku lengah dia terlepas dan langsung memburu Bus yang sudah mulai melaju meninggal kan terminal, Good by. terliahat lambayan tangan Ratna dalam Bus yang mulai meninggalkan ku yang berdiri kaku di Trotoar jalan.....

"Ternyata pagi ini terminal sudah ramai, aku baru sadar setelah semuanya berlalu, terliat orang-orang memandang ku aneh,,, mungkin karna barusan berantem ma Ratna. ah masa bodo semua telah berlalu, Ratna telah pergi....

ku coba telpon Umi memastikan apakan Ratna pergi benar-benar pergi minta ijin sama umi,

"Assalamualaikum Umi,"
"Wa'alaikum salam" terdengan suaranya lirih pelan

" ni dengan Deri Umi"
"Oh Dera da apa Jang Dera" jawabnya dengan panggilan Khas buat ku

"gini Umi, tadi saya ketemu Ratna diterminal, katanya dia mau pergi ketasik, cuman keliatannya dia abis nangis, saya tanya Izin dulu kagak ama Umi, Izin katanya, apa betul Umi ratna Izin ama Umi,?"

Umi langsung nangis memndengar penjelasan saya,

" aduh Umi maaf knp"?

Justru itu Jang, Ibu tuch lagi nyari Ratna, kirain ibu Ratna keluar jalan2 pagi, tapi sampai jam segini belom pulang biasanya jam 7 juga dah pulang, pas waktu Umi kekamarnya, Umi terkejut liat Ratna kg ada apalagi umi nemuin surat yang isinya buat kami Khawatir ama Ratna, Ratna pergi dari rumah........ " suara lirihnya tertekan diujung tangis

Terjawab sudah kecurugaan ku memang dari keadaanya pun aku sudah bisa tebak, aduh Ratna-Ratna, tenyata kamu Nekad juga". lirih ku pelan sembari menunggu Umi melanjutkan ceritanya,

"Terus sekarang gmn Keadaan bapak Umi ?" tanyaku membangunkan tangisan umi

"Bapak langsung sakit, Umi juga kg tahu harus gimana Der, dia Mo ketasi ke siapa katanya, aduh ibu bingung de ibu kg tahu daerah tasik, apalagi dalam keadaan seperti gini, denger Ratna pergi Umi lemes kg bisa ngapa2in," lirihnya pelan

Aku bingung dicampur rasa Iba dan perihhan Hatiku masih terasa ku terhadap Ratna. tapi aku tidak tega denger keadaan Umi dan Bapak, yang mengkhawatirkan Ratna, mereka tak akan menemukan ratna walau mereka nekat nyari ratna, tasik terlalu luas untuk dirangkul...

" Der, Tasiknya kemana biar Ibu susul kesana,?" tanyanya membangunkan lamunan ku

" katanya mau sobatnya, kalau kaga salah Dina Umi, oh ya ada kayaknya nmber Hadponenya Dina, coba aja dulu" jawabku senang, aku langsung membuka memory Book mark Hp ku untuk mencari nmber gina,

"Ya Ampuun Umi, aku ka gak nyangka Nomber Dina kg ada, aku lupa tadi sebelum berangkat Ratna pinjam Hadnpone, kayaknya dihapus sama Ratna, Nmber Umi, Ratna juga Bapak kagak ada,."

"Ya Allah, Ratna-ratna. ters karang gmn, Der. km tahu rumahnya Dina ka ga'? Ibu minta alamatnya.?" tanyanya ringan

"Aku kg tahu pasti Alamat Rumahnya kalau rute perjalannya aku tahu, cmn nama2 jlnnya alamatnya sama sekali deri kg tahu," jawabku menyesal kg bisa kasih tahu Umi.

"Aduh...! lantas karang gimana,"? tanyanya bingung disela isak tangis yang mulai kemali tumbuh.

Aku tak tega dengar Umi nangis disebrang sana, Bpk pun terdengar menagis kecil disela-sela tangisan Umi, menambah ke khawatiran ku terhadap keadaan mereka, batinku terasa lain buat ratna, dia terlalu mempermainkan perasaan ku, dia juga tega membuat Umi dan Bapak menjadi begini, wanita macam apa kamu Ratna, kamu bukan Ratna yang kukenal dulu saat kita masih bersama, siapakah sebenarnya Kamu, bukan hanya hatiku yang kau Iris, kau tega Iris hati kedua orang tuamu, malah yang aku tak nyangka sama sekali kau nodai dirimu sendiri Rat.."


Batin ku lirih mengingat semua ini, aku masih tak terima perlakuan mu terhadap ku, batin ku terlalu sakit, tapi apalah daya, suara hati ku berkata lain, aku terlanjur mencintainya, aku terlanjur menyanyanginya, meski perih meski luka, tapi semua sudah terlanjur, terlanjur sayang hingga rasa perih ku bisa tertimbun, tertanam dalam-dalam. walau tetep kalu mengingat kejadian itu batin ku lirih perih, lantas begitu saja bisa terbuang dengan senyuman yang pernah Ia pancarkan,

Masih terdengar suara lirih tangis Umi disebrang sana, 1/2 jam berjalan aku masih memegang gagang telpone, mulut ku terbisu seribu bahasa, aku hanya termenung, bingun apa yang harus kulakukan,

"Umi, Umi sudah Umi kg usah menangis, umi tak Usah bingung dan khawatir biar saya yang menyusul Ratna, percayakan semua Umi, semua akan baik-baik aja" rayu mencoba menghentkan tangis Umi,

"Tapi der gmn?" ibu bener2 bingung". kebali tangisnya mulai terisak..menambah

" udah umi, Umi pasti bisa sabar, sekarang masalahnya gman keadaan bapak, Umi tenangin keadaan bapak, umi tenangin keadaan keluarga disana biar Deri yang ngurusin ana." jawab ku menyakinkan Umi,

"Ya, udah atuh, sok deri cari Ratna, " Biar ibu tenangin keluarga disini," Ibu percaya ma Deri...

"Ya udah ya Umi Assalamualaikmum,!"

Terimakasih Sebelumnya der, Waalaikum salam,

Kutup telpon, Aku hanya bisa duduk bengong memikirkan apa yang harus kulakukan, sedangkan keadaan ku tak memungkinkan untuk bisa nyampai ke Tasik, Ongkos pun alu tak punya, Tasik, aaaah aku pun agak lupa rute perjalannya,
Tapi tak apalah, aku harus bisa menemukan ratna, aku harus bisa sampai ketasik, biar semua selesai, biar tak ada lagi yang luka, cukup aku, ya... cukup aku Ratna, yang kau baut sakit hati, tak usah dirimu tak usah keluargamu, aku tahu semua ini terjadi ada sangkut pautnya sama problem kita. aku ihklas Ratna, aku ikhlas, jangan kau sangka aku mencari kesempatan dalam kesempita, jangan kau kira aku sengaja mencari mu untuk mengambil hati mu, dan keluargamu untuk simpati terhadap ku.

sekali lagi ratna aku ikhlas, biarkan aku yang kau buat sakit, cukup aku. ..... akan ku laksanakan janji akhir untuk selalu menjagamu, menyanyangimu, walau kau tak pedulikan ku, walau kau tak menyanyangi ku, aku tahu bahwa cinta itu tak harus memiliki.... terima kasih Ratna




-----------